SI BUNGSU YANG TERJEBAK JUDOL

 

Semakin marak berita pinjol dan judol yang membuat kehidupan banyak orang hancur, akupun merasa khawatir dengan nasib si bungsu dari kami 3 bersaudara. Aku lumayan paham kalau sikapnya hampir mirip denganku. Mudah terpengaruh. Ketika sirkel pertemanannya buruk, maka tak mustahil jika ia pun ikut terdampak.

Aku mencoba percaya. Meski kekhawatiran itu semakin menguat ketika ia setiap bulan harus pinjam uang. Ia yang tak bisa nabung meski hanya 1% dari gajinya, bahkan selalu minus. Kekhawatiran ini bukan hanya tentang kerugian materi nantinya, tentang tagihan-tagihan yang kemungkinan tak terhitung jumlahnya. Tapi juga soal mental dan pola pikir. Bagaimana kalau ia tumbuh dewasa tanpa dibekali dengan rasionalitas dan mentalitas yang baik?

November 2023 lalu, si bungsu memberiku kabar yang mengejutkan. Seperti yang selama ini ku khawatirkan, hal itu benar terjadi. Kabar seperti ini tentu membuatku ingin marah sejadi-jadinya. Tapi apakah aku bisa marah? Nyatanya kemarahanku berwujud air mata yang terus menerus keluar. Dia mengaku bingung karena telah memakai uang teman kosnya yang dititipkan padanya sebentar untuk bayar utang temannya yang jauh. Aku semakin tak tahu menghadapi perasaan ini, bagaimana mungkin teman nitip uang hanya sehari dan masih berani ia pakai untuk bayar utang teman yang jauh tak terjangkau indera? Padahal jika dipikir secara rasional, bukankah teman yang jauh di sana lebih bisa menerima penangguhan bayar daripada teman yang nanti malam ditemuinya. Aku memang ikut bingung. Akupun jadi tak berpikir rasional. Yang ada dipikiranku kala itu adalah bagaimana caranya aku mendapatkan uang 800rb dalam hitungan jam. Tentu saja sulit meminjam teman, aku tahu betul teman dekatku juga sering kekurangan. Semakin kubayangkan bagaimana ia bingung memikirkan hal itu, aku pun ikut bingung. Banyak hal negatif yang kupikirkan. Karena beberapa waktu terakhir aku sering melihat berita tentang kasus bunuh diri dan pembunuhan yang diakibatkan utang berutang. Aku takut si bungsu ini akan mengalami hal yang tak terbayangkan tersebut.

Singkat cerita, aku menggadaikan laptopku. Dengan air mata yang masih bercucuran ketika menuju pegadaian. 400rb bisa kudapatkan dari menggadaikan laptop jadul ini. Sisanya aku dapat pinjaman Dita.  Itu cukup menguras emosi dan tenagaku di bulan November tahun lalu. 

Kupikir masalah akan usai, ternyata selang beberapa hari aku menerima kabar lagi darinya kalau ia perlu membayar utang temannya 700rb karena temannya akan pulang kampung dari perantauan. Aku sudah kuatkan tekad untuk tak memberinya lagi. Saat kejujuran yang kedua inilah ia cerita tentang keterlibatannya pada judi online. Tak disebutkan secara pasti berapa uang yang sudah ia keluarkan untuk berjudi. Ia hanya mendaftar utang kepada teman-temannya, yang berjumlah 1,8 juta an. Ini sangat mengiris hatiku. Ia meminta bantuanku untuk mengambil pinjaman di shope? Ini sungguh membuatku marah. Bagaimana mungkin ia tak menghargai prinsipku untuk tidak pernah mengambil pinjaman online, meski sudah legal. Aku menolaknya beberapa kali. Beberapa kali juga ia mengirimiku pesan yang menyedihkan. Dia mengatakan kalau ingin berubah, dengan melunasi semua utang-utangnya dengan sekali meminjam shope tersebut.

Seperti yang bisa ditebak, akupun luluh. Aku teperdaya oleh kata-katanya. Lagi pula saat itu aku tak melihat jelas bagaimana mimik wajahnya saat memohon seperti itu. Apakah ia menyesal? Apakah ia dengan santai menghisab rokok sambil pegang hp menulis pesan dengan ekspresi seadanya dan selalu menganggap aku bisa dimanfaatkan? Aku tak bisa membayangkannya. Dengan perasaan dilema aku akhirnya terjebak juga pada lingkaran yang sama sekali tak ingin kumasuki ini. Bahkan ibaratkan aku kelaparan di sini, aku tetap tak ingin mengambil pinjaman tersebut. Tapi aku melakukan untuknya.

Bagaimana tentang ancaman perang dengan Allah dan Rasul-Nya bagi pelaku riba? Bisa-bisanya aku mengabaikan itu pada saat itu? Dan benar, hidupku jauh dari kata tenang semenjak itu. Banyak kesia-siaan yang terus kulakukan.

Apakah masalah berakhir setelah aku mengambil pinjaman? Tidak.

Aku membawa beban rahasia yang kurasa begitu berat ini dari kakak dan ibuku. Aku was-was, khawatir , tapi masih mau memberinya kesempatan untuk berubah. Aku masih mempercayainya untuk bisa belajar dari pengalaman ini.

Sampai pada bulan Januari 2025 ini, cicilan shope tidak dibayar. Hutang ke teman kami 300rb tidak ia bayar juga. Sampai teman tersebut menghubungiku secara pribadi karena ia tak membalas pesan ketika ditagih utang. Kemarahanku semakin meluap, tapi lagi-lagi aku hanya bisa menangis. Kukirim banyak pesan, entah dibaca dan direnungi atau hanya dibaca sekenanya saja. entahlah.

Pada bulan Februari ini, saat aku ke rumah kakak dan kami berbincang soal si bungsu. Tiba-tiba aku mengungkapkan semuanya. Hal yang selama ini kusembunyikan tersebut. Rasanya , itulah yang selama ini tersimpan di dadaku, menyesakkannya. Aku sudah tak kuat lagi menahan ini semua, tanpa persiapan aku pun langsung mengatakan yang sebenarnya. Meski dengan air mata yang terus mengalir, aku akhirnya berhasil dan beban yang menyesakkan dada itu akhirnya bisa terangkat. Keluarga memang harus tahu, agar bisa memberi efek jera. Karena aku sendiri tak mampu.

Di bulan Februari ini juga, akhirnya aku tahu bahwa selama ini ia membohongiku. Sebelumnya ia mengatakan semua utangnya ada di daftar yang ia kirimkan padaku via whatsapp. Tapi karena bulan Januari-Februari ia tak membayar cicilan shope, akhirnya ia mengaku kalau masih banyak hutang yang harus ia tanggung. Hatiku kembali sakit. Selama ini kupikir kita hidup dengan saling menghargai. Dia jelas-jelas menganggapku enteng dan membohongiku. Ini menjadi semacam luka yang ia goreskan. Aku berharap tak menjadi dendam yang berkepanjangan, tapi sulit untuk mempercayainya lagi.

Pelajaran apa yang didapat dari kejadian ini?

Aku perlu bermuhasabah pada diriku sendiri. Aku membenci sikap yang demikian, maka aku perlu memastikan bahwa aku tak akan bersikap yang serupa. Aku cukup menghargai orang-orang di sekitarku. Tapi memaksa orang lain untuk menghargaiku itu cukup menyakitkan.

Aku perlu menyelamatkan diriku sendiri sebelum menyelamatkan orang lain. Bagaimana mungkin aku menerjang pembatas hanya untuk membuat orang lain selamat? Padahal belum tentu itu berhasil selamat.

Batasan yang sehat perlu aku usahakan kepada siapapun. Bukan hanya orang lain. Sahabat, saudara, orangtua, kerabat. Kepada mereka semuapun aku perlu menjaga batasan sehat ini. Selama ini aku masih sering kewalahan untuk memenuhi ekspetasi mereka. Aku masih belum bisa berpikir rasional saat hatiku dipenuhi perasaan kepada mereka.

Mencintai orang lain dengan benar seharusnya tidak menggunakan cara yang Allah haramkan. Mencintai orang lain dengan benar bukan dengan selalu ada dan selalu mau membantu mereka meskipun harus masuk dalam jurang yang dalam. Tapi mencintai seseorang itu dengan menggenggamnya erat ketika mereka mulai berada di tepian jurang.

Setelah kejadian ini apakah aku akan membenci si bungsu?

Kita adalah saudara. Pasti ada momen kita akan bertemu kembali. Awal bulan ini saat kami takziah ke rumah bibi, aku masih bisa bersikap biasa.  Cukup mudah bukan memakai topeng baik-baik saja?

Memang cukup mudah untuk tetap tertawa. Guyonannya juga masih renyah. Tapi aku perlu berhati-hati lagi. Aku harus punya prinsip. Lebih tegas lagi soal prinsip yang sudah aku pilih.  Aku tak bisa jatuh ke lubang yang sama ini.

Jadi aku membenci sikapnya. Aku tak suka dengan caranya mempermainkan kepercayaan. Aku akan menurunkan ekspetasi. Berhenti khawatir berlebih soal hidupnya dan fokus pada kehidupanku sendiri.

Karena pada akhirnya nanti kita akan mempertanggungjawabkan semuanya sendiri.

 

Penutup dan pesan untuk pembaca

Pembaca satu-satunya blog ini adalah aku sendiri. Mungkin aku di masa depan akan menertawakan kebodohanku ini. Aku yang begitu tidak kritis pada alasan-alasan konyol yang tak masuk di akal. Aku yang begitu mudah tertipu oleh janji-janji manis. Kuharap diriku di masa depan bisa memaafkan kesalahanku hari ini. Dan bisa lebih asertif lagi pada orang lain.

 

Surabaya, 16 Februari 2025

Komentar